Perjalanan hidup 1

Terlahir sebagai anak kedua dari sebuah keluarga yang sangat sederhana, tidak membuat saya tidak mau mensyukuri segala hal yang pernah saya dapatkan. Saya sangat bersyukur, meskipun tidak terlahir sebagai anak orang kaya. Kami dibesarkan dalam kesederhanaan di lingkungan perkampungan di kaki gunung salak. Semuanya masih sangat alami disini, masa kecil yang kami lewati jauh dari modernisasi. Tapi inilah yang membuat kita cerdas , terutama secara psikis dan motorik. Tidak ada gadget, video game, playstation, yang kami kenal hanya permainan permainan tradisional yang sangat menyenangkan. Bahkan tv pun hanya beberapa orang yang memiliki, sehingga setiap malam nya kami menghabiskan waktu dengan belajar, dan jika kami sesekali ingin hiburan kami akan pergi ke rumah tetangga untuk ikut menumpang menonton televisi.

Bapak saat itu hanyalah seorang supir angkot, dan ibu tidak bekerja, hanya mengurus rumah tangga saja. Dengan penghasilan yang sangat minim ibu harus membagi antara uang belanja dan untuk membiayai sekolah anak anaknya. Kadang bapak tidak membawa hasil sama sekali, memang pekerjaan sebagai supir angkot buruh (narik angkot milik orang lain, tidak milik sendiri) tidak bisa banyak diharapkan. Bila situasi seperti itu, ibu harus mencari tambahan untuk menutupi kebutuhan kami, kadang dengan cara menjadi buruh cuci dan setrika di rumah tetangga.

Meskipun keadaan ekonomi yang sulit, tidak menyurutkan semangat saya , kakak laki laki serta adik perempuan saya untuk belajar. Kami selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah, terbukti dengan rangking kelas yang kami raih setiap caturwulan (dulu sistemnya belum smester). Aku hampir selalu mendapat juara 1, selama SD , SMP, dan SMA. Hanya beberapa kali rangkingku jatuh, itupun masih diposisi 3 besar. 

Saat SD letak sekolahku lumayan jauh. Mungkin hampir 2Km. Dan setiap harinya aku berjalan kaki untuk mencapai sekolah, waktu itu bersama 2orang teman lain yang juga bersekolah di SD tersebut. tapi aku tak pernah bolos sekolah sekalipun.  Kadangkala bapak guru menawarkan untuk mengantar pulang kami dengan motor beliau karena mungkin kasihan melihat kami. Saat kelulusan SD tiba, aku dan kedua teman yang berasal dari kampung yang sama membuat kaget seluruh sekolah, pasalnya nilai ujian kami menjadi yang tertinggi, bahkan sekolah kami jadi urutan 3 se-kecamatan. Bapak kepala sekolah sendiri hampir tidak percaya, karena sekolah tersebut bahkan tidak pernah masuk 15 besar sejak pertama didirikan. Kami membuat kepala sekolah dan para guru bangga, kami menerima banyak sekali pujian. Wali kelas terus saja membangga banggakan nilai UN matematika ku yang nyaris sempurna, hanya salah satu soal kata beliau. Tapi perolehan cemerlang di UN akhir tersebut tak berarti mampu mengantarkanku masuk SMP bagus atau favorit, tetap saja uang yang bisa. Aku nyaris tak melanjutkan sekolah ke SMP karena ketidakmapuan orang tua, padahal waktu itu kepala sekolah sudah mendaftarkan aku dan teman teman yang lain ke sekolah negeri satu satunya didaerah kami yang mana saat itu menjadi sekolah favorit dan unggulan,  Semua orang berlomba memasukkan anaknya bersekolah disitu. Kepala sekolahpun membawa kabar gembira bahwa aku diterima dengan sangat baik dan ditempatkan dikelas A, tapi bapak dengan tak tega nya mengatakan bahwa aku tidak akan masuk sekolah tersebut karena tak ada biaya, beliau bilang mungkin aku akan dimasukkan saja ke SMP terbuka (saat itu SMP terbuka  ini merupakan program pemerintah untuk membantu anak anak dari keluarga miskin yang ingin melanjutkan sekolah, dan hanya ada tingkat SMP saja). Bapak kepsek sangat menyayangkan hal tersebut, beliau berkata potensi saya terlalu besar sangat disayangkan bila hanya sekolah di SMP terbuka (karena sekolah ini tidak seperti sekolah pada umumnya, pelajaran dan guru nya kurang memadai, fasilitas tidak ada, tempat hanya menumpang di sekolah SD). Bapak kepsek bahkan menawarkan untuk membiayai setengah biaya sekolahku jika masuk sekolah favorit tersebut, akan tetapi bapak tidak punya uang biarpun itu hanya setengah dari biaya seharusnya. 

Beberapa hari kemudian, bapak kepsek kembali datang ke rumah dengan membawa tawaran untuk memasukkan aku bersekolah di SMP tempat beliau mengajar pula, meskipun bukan sekolah bagus (sekolah ini bahkan belum punya bangunan sendiri hingga sekarang) tapi setidaknya lebih baik dibandingkan masuk sekolah terbuka. Akhirnya aku bersekolah disana, selama 3 tahun bersekolah aku nyaris dibebaskan dari biaya SPP, hanya biaya2 kecil saja yang dibebankan. 

Saat kelulusan SMP tiba, kembali kesulitan menghampiri. Aku ingin melanjutkan sekolah, tapi itu adalah hal yang sulit mengingat ekonomi keluarga yang sangat minim. Tapi untungnya saat itu ibu berhasil mendapat pinjaman dan akupun mendaftar di salah satu madrasah aliyah swasta, yang termurah dan dekat hingga tidak perlu mengeluarkan ongkos besar. Aku tidak keberatan , karena bagiku yang penting bisa melanjutkan sekolah. Aku dan ibu mendaftar dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari desa, berharap sekolah memberikan keringanan atas biaya masuk,  meskipun memang sudah murah tetap saja itu tidak bisa dikatakan murah oleh orang seperti kami. Akhirnya aku masuk sekolah tersebut,  aku berperilaku sangat baik dan absensiku sangat bagus. Akupun selalu mendapat rangking kelas, karena itu sekolah tidak mendesakku saat bayaran SPP menunggak beberapa bulan, dan tetap memberiku kesempatan mengikuti ulangan smester.

Lulus SMA, saat itu tahun 2011, pertanyaan kembali menghampiriku. Akankah aku mampu melanjutkan ke universitas ? orangtua sudah terang terangan berkata padaku bahwa mereka hanya mampu menyekolahkan masing masing anaknya hingga lulus SMA, jika ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, sepenuhnya diserahkan kepadaku, katanya aku harus bisa meraihnya sendiri jika memang ingin. Tentu saja keinginan itu selalu ada di benakku, membayangkan menjadi seorang mahasiswa pertama di keluargaku, betapa bahagianya memakai baju toga dan melihat kedua orangtua dan keluargaku bangga padaku. Dan dengan ilmu yang lebih tinggi aku bisa merubah keadaan keluarga menjadi lebih baik, meningkatkan derajat mereka. Keinginan yang selalu tersimpan dalam hati dan akan aku wujudkan. Fighting!!

Saat itu semua orang tahu bahwa aku ingin sekali lanjut kuliah, salah seorang paman bahkan mengajak semua saudara dari pihak bapak untuk sama sama membantuku melanjutkan kuliah, karena alasan yang sama dengan kepala sekolah dari SD dulu, katanya aku ini anak yang pintar, sayang jika tidak bisa melanjutkan sekolah, padahal keinginanya pun sangat besar. Akan tetapi niat baik tersebut tidak mampu terlaksana, karena saudara saudara yang lain tidak menyanggupi usul tersebut. Aku mencoba memahami jika mereka tidak bisa memenuhinya, karena mereka sendiri masih punya tanggungan masing masing yang tidak memakan biaya sedikit. 

Akhirnya aku memutuskan untuk bekerja. Dengan harapan yang masih tersimpan hingga kini, bahwa suatu hari aku akan bisa kuliah. Tapi hari hari berlalu begitu saja, dan hasil bekerja selama ini, aku belum bisa menabung untuk kuliah, karena satu hal dan lainnya, uang habis begitu saja. Biaya sehari hari, membantu ibu (karena bapak saat ini kerja serabutan bahkan lebih banyak menganggur dirumah) membantu biaya sekolah adik, dan lain lain.

Saat menuliskan perjalanan hidup ini, aku telah menganggur selama 2 bulan, karena berhenti kerja ditempat sebelumnya yang disebabkan beberapa alasan. Aku melamar ke beberapa tempat dan belum ada panggilan kerja. Saat saat seperti ini mengingatkan aku kembali pada harapan lama yang terkubur, aku ingin kuliah tapi aku tidak ada biaya. Akhirnya aku browsing beasiswa beasiswa yang memberi kesempatan belajar dengan full tanpa membebankan biaya. Aku akan mencobanya lagi dan lagi. Aku yakin suatu saat aku akan menyandang status sebagai mahasiswa. Aku ingin kuliah, dan lulus dengan nilai baik, mengalami apa yang disebut wisuda. Aku ingin mengubah hidup. Aku bisa. Aku pasti bisa. Allah besamaku. Amin.